NasDem Nilai Akil Runtuhkan Kepercayaan Penegakan Hukum
JAKARTA (4 Oktober): Kasus dugaan suap yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar masih menuai reaksi. Sekjen DPP Partai NasDem Patrice Rio Capella, mengatakan, penangkapan Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegakan hukum.
"Ini adalah peristiwa paling luar biasa di penghujung tahun 2013 ini. Ini bukan operasi tangkap tangan (OTT) biasa, tapi luar biasa karena AM adalah Ketua MK yang dianggap benteng terakhir dari penegakan konstitusi Indonesia," kata Rio di Jakarta, Jumat (4/10).
KPK pada Rabu (2/10) malam menangkap Keetua MK Akil Mochtar di rumah dinasnya di Jakarta. Dia diduga menerima suap dalam dua kasus pemilukada yakni pemilukada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah serta Kabupaten Lebak, Banten. Dalam dua kasus itu, KPK menyita barang bukti uang sekitar Rp 3,7 miliar. Akil dan sejumlah orang lain telah ditetapkan sebagai tersangka dan kini ditahan KPK.
Menurut Rio, tingkat kepercayaan terhadap penegakan hukum di Indonesia semakin menurun, bahkan tak ada lagi lembaga hukum yang bisa dipercaya, kecuali KPK. Oleh karena itu, membutuhkan waktu cukup lama untuk kembali menaruh kepercayaan terhadap lembaga seperti MK, kecuali hakimnya semua baru, dan hakim itulah melalui putusannya yang tidak melukai rasa keadilan masyarakat.
"KPK harus terus mengawasi lembaga penegakan hukum kita. Setelah Polri, MK, dan kemudian lembaga-lembaga lain juga harus dilakukan pencegahan, tidak hanya penindakan," kata Rio.
Rio mengaku tidak yakin dengan adanya kasus dugaan suap tersebut kemudian hakim lain akan mengambil langkah mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi karena budaya yang ada tidak lazim seperti itu. "Tapi, kalau mereka mengambil langkah itu, saya yakin kepercayaan rakyat akan tumbuh kembali. Pertanyaannya, apakah mungkin?"
Rio mengharapkan, ke depannya pemimpin MK bukan lagi merupakan orang-orang partai politik, melainkan dari kalangan akademisi dan ahli hukum tata negara.
"Sebaiknya memang dipilih yang profesional seperti ketika MK pertama kali didirikan, yakni era Jimly Asshidiqqie, hakimnya terdiri dari akademisi dan ahli hukum tata negara, bukan mantan politisi atau pengacara. Saya pikir itulah yang ideal untuk anatomi MK ke depan," ucapnya. *