News
Friday, 13 December 2024

Politik Uang kian Dianggap Wajar


JAKARTA (13 Desember): Masyarakat Indonesia saat ini semakin permisif terhadap politik uang. Politik uang sudah menjadi sebuah kewajaran dalam proses demokrasi.

Kekhawatiran tersebut disampaikan koordinator Tim Pemantau Daftar Pemilih Tetap (DPT) PDIP, Arif Wibowo, di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (12/12).

Menurut Arif, potensi munculnya kursi haram itu karena jumlah DPT tidak seluruhnya bersih dan ada sinyalemen markup data pemilih.

Arif mencatat daerah pemilihan (dapil) yang paling banyak menghasilkan kursi haram tersebut yaitu Jawa Barat sebanyak 16 kursi, Jawa Tengah (14 kursi), Daerah Istimewa Yogyakarta (1 kursi), Jawa Timur (15 kursi), Banten (3 kursi), Aceh (4 kursi), Papua (4 kursi), dan Papua Barat (7 kursi).

“Semua potensi itu berawal dari DPT yang tidak beres,” kata Arif.

Berdasarkan penjelasan KPU, kata dia, semula ada sebanyak 10,4 juta data pemilih yang masih bermasalah, baik data kependudukannya belum lengkap maupun belum memiliki nomor indentitas kependudukan (NIK). Namun, setelah KPU memperbaiki lagi, dari 10,4 juta data pemilih bermasalah, saat ini masih tersisa sebanyak 3,4 juta data pemilih yang belum lengkap.

“KPU belum mau memberikan rekapitulasi DPT yang masih bermasalah itu ke partai,” ujarnya.

Ia menambahkan, PDIP juga mempunyai DPT Pemilu 2009 yang diduga dimanipulasi hingga sekitar 10 juta pemilih dari jumlah DPT sebanyak 171.265.442 pemilih.

Arif menyebut sebanyak 10.024.426 pemilih dicurigai sebagai pemilih tidak wajar karena melampaui batas rasio pemilih sesuai dengan ketentuan dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Menurut dia, berdasarkan ketentuan dari BPS, jumlah pemilih tidak mungkin melampaui 75% jumlah penduduk. Namun yang terjadi pada 54 dapil pada Pemilu 2009, jumlah pemilih melampaui 75% dan bahkan ada yang mencapai 90%.

“Patut dicurigai ada pemilih fiktif atau ada markup data pemilih,” tandasnya.*

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Politik Uang kian Dianggap Wajar

 

JAKARTA (13 Desember): Masyarakat Indonesia saat ini semakin permisif terhadap politik uang. Politik uang sudah menjadi sebuah kewajaran dalam proses demokrasi.

 

Hal itu terungkap dalam survei yang dilakukan lembaga survei Indikator Politik Indonesia (IPI) sepanjang September-Oktober 2013.

“Sebanyak 41,5% pemilih menilai praktik politik uang sebagai suatu kewajaran. Hanya 57,9% yang menilai politik uang tidak bisa diterima,” terang Direktur Eksekutif IPI Burhanuddin Muhtadi, dalam paparan hasil survei Sikap dan Perilaku Pemilih terhadap Politik Uang di Jakarta, Kamis (12/12).

 

Hasil survei itu, sambungnya, cukup mengejutkan jika melihat besarnya responden yang menjadi sampel survei. Penelitian itu dilakukan di 39 daerah pemilihan (dapil) dengan mengambil 400 sampel di tiap dapil.

 

“Di antara responden yang menyebut politik uang sebagai kewajaran, 55,7% mengaku akan menerima pemberian uang. Sebanyak 28,7% bahkan mengatakan akan memilih calon yang memberi uang, dan 10,3% akan memilih calon yang memberi uang paling banyak. Hanya 4,3% yang menolak uang itu meski menilai praktik itu sebuah kewajaran,” papar Burhanuddin.

 

Ia menambahkan, sikap seorang pemilih untuk toleran atau tidak terhadap politik uang tidak berkaitan dengan faktor demografi, gender, usia, ataupun tempat tinggal mereka, baik di desa maupun kota. Namun, yang memiliki andil besar bagi pemilih dalam memandang politik uang, sambungnya, ialah faktor pendidikan dan pendapatan.

 

“Semakin tinggi pendidikan dan semakin besar pendapatan seorang pemilih berkorelasi dengan semakin rendah toleransinya terhadap politik uang,” ujarnya.

 

Hasil yang didapat survei IPI tersebut tidak jauh berbeda dengan survei nasional pada Maret 2013. Dalam survei tersebut, sebanyak 54,3% responden menyatakan menolak, sedangkan 41,7% menyatakan menerima politik uang.

 

“Hasil ini menjadi lampu kuning buat demokrasi kita. Kok bisa yang menganggap wajar politik uang sampai sebesar ini,” kata Burhanuddin.

 

Dalam kesempatan itu, politikus dari PDIP, PAN, dan Demokrat sepakat untuk mencari cara lain guna mendekatkan pemilih dengan partai politik tanpa perlu lewat politik uang.*