Kewenangan DPR Melampaui Amanat UUD
JAKARTA (27 September): Kewenangan DPR menyeleksi calon hakim agung dinilai melampaui amanat UUD 1945 karena lembaga legislatif itu sebenarnya hanya boleh memberikan persetujuan, bukan melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) sebagai terjadi belakangan ini. Uji kelayakan dan kepatutan di DPR dapat berakibat seperti adanya ‘lobi toilet’ seperti terjadi pada uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung pekan lalu.
‘’Menurut UUD 1945 yang berhak memilih hakim agung adalah Komisi Yudisial (KY), bukan DPR. KY dibentuk untuk fungsi tersebut,’’ kata pakar hukum tata Negara Asep Warlan, Kamis (26/9).
Pada dasarnya, kata Asep, kekuasaan yudikatif harus terpisah dari kekuasaan legislatif dan eksekutif. ‘’Mahkamah Agung harus terpisah dari eksekutif dan legislatif. Itu hakikat dari lembaga peradilan yakni Independence of judiciary. Pemilihan hakim agung tidak boleh dilakukan DPR karena rentan politisasi,’’ katanya.
Hal yang sama dikemukakan pakar hukum tata Negara Ade Saptomo. Apapun terminologinya, baik ‘persetujuan’, ‘pemilihan’ maupun ‘pertimbangan’, bila melalui DPR tetap mengkhawatirkan. ‘’Substansi politiknya sama, DPR akan memainkan kepentingan. Lebih baik kewenangan itu diserahkan kepada KY yang hasilnya langsung diberikan kepada Presiden.
Menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila itu, ketentuan yang mengharuskan persetujuan, dipilih atau pertimbangan DPR perlu dievaluasi lagi karena sudah salah kaprah dan berlebihan.
Uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung oleh Komisi III DPR beraroma transaksional. Pekan lalu wartawan memergok seorang anggota Komisi III DPR dan seorang calon hakim agung berada di toilet di sela-sela berlangsungnya uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung oleh Komisi III DPR. Bahkan anggota KY Imam Anshori Saleh mengungkapkan beberapa waktu lalu seorang anggota Komisi III DPR meneleponnya meminta agar KY meloloskan calon hakim agung tertentu saat seleksi calon hakim agung masih terjadi di KY dengan imbalan Rp1,4 miliar. Juga seorang mantan anggota Komisi III DPR mengungkapkan pernah ditawari sejumlah uang oleh koleganya sesama anggota Komisi III DPR agar memilih calon hakim agung tertentu.*